WarungKopi

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
WarungKopi

2 posters

    Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara

    steven
    steven
    WarKop Super DIVA
    WarKop Super DIVA


    Male
    Jumlah posting : 1036
    Lokasi : Medan boo
    Registration date : 25.09.08

    Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara Empty Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara

    Post by steven Sun Sep 28, 2008 11:32 am

    Pertemuan kebetulan dg Krishnamurti
    Dari buku, "The Quiet Mind," oleh John E. Coleman, 1971

    "Semacam" Filsuf

    Di India saya mulai mencari berbagai pemimpin agama, guru, yogi dan apa yang
    disebut orang-orang tercerahkan. Saya mengunjungi biksu-biksu Tibet di
    Sikkim, guru-guru Hindu dan yogi-yogi di Calcutta, Benares, Delhi,
    Rishikesh, Madras dan Bombay, dan biksu-biksu Buddhis di Bodhgaya. Saya
    bertemu dan bicara dengan banyak guru di seluruh India, membahas sistem
    pengendalian badan dan jiwa mereka yang beraneka ragam dan mencoba sejumlah
    latihan yang aneh, beberapa di antaranya akan saya uraikan, tapi tidak satu
    pun yang menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadaan mirip
    trance yang bersifat sementara yang dicapai melalui pengulangan
    mantra-mantra, mengidungkan doa-doa atau berkonsentrasi pada obyek-obyek
    netral. Banyak dari eksperimen itu menghasilkan ketenangan tertentu dalam
    diri saya, tapi saya sama sekali masih belum mampu mentransendensikan
    kegiatan dari batin yang nakal dan terus menggapai ini. Saya rasa, saya tahu
    mengapa saya gagal, seperti telah saya jelaskan sebelum ini, tetapi
    bagaimana saya bisa mencari cahaya tanpa mencurahkan seluruh daya batin saya
    sepenuhnya kepada pencarian itu? Bagaimana saya bisa melihat kebenaran itu
    tanpa dengan sadar dan sepenuh hati mencarinya? Rasanya seperti bermain
    kucing-kucingan dengan bayangan saya sendiri.

    Sementara menunggu pesawat saya berangkat dari Benares menuju New Delhi,
    saya melihat seorang India minta diri dari segerombolan teman-temannya.
    Sosoknya menarik, tampak sudah tua--mungkin berusia enampuluhan atau
    lebih--tinggi, dengan kepala yang dipenuhi uban. Ia mengenakan pakaian tipis
    terbuat dari katun putih seperti banyak dipakai orang. Kepergiannya jelas
    menyebabkan rekan-rekannya sedikit banyak bersedih hati, dan mereka
    mengucapkan doa dengan sungguh-sungguh agar ia selamat dan mendesaknya agar
    segera datang kembali. Saya pikir, ia seorang selebriti atau tamu yang
    dihormati. Kami menaiki tangga pesawat bersama-sama, dan saya segera duduk
    di kursi saya dan asyik membaca buku yang saya beli di toko buku bandara,
    tanpa menghiraukan sekeliling saya, kecuali ada seorang perempuan muda
    Amerika duduk di kursi di samping saya. Saya tidak lagi memperhatikan
    laki-laki berpakaian putih itu, bahkan melupakannya sama sekali sepanjang
    bagian perjalanan itu. Namun saya memperhatikan satu hal yang aneh. Mungkin
    tidak penting, tetapi laki-laki itu tidak membawa bagasi.

    Pesawat singgah di Lucknow. Para penumpang turun, dan kami semua pergi ke
    ruang tunggu bandara untuk dilayani makan siang. Saya perhatikan,
    orang-orang Eropa dengan sendirinya mengumpul di satu meja, dan mula-mula
    saya terdorong untuk mengikuti mereka. Namun, saya mengubah pikiran saya
    ketika saya melihat laki-laki tua yang saya lihat tadi pergi menuju sebuah
    meja yang lebih kecil, yang sudah ditempati oleh seorang perwira tentara
    India. Yah, saya berada di India untuk bertemu dengan orang India, dan ini
    kesempatan baik untuk mencicipi budaya setempat. Kami bertukar sapa seperti
    biasa, dan saya duduk. Saya memperkenalkan diri, dan ia menyebutkan namanya,
    Krishnamurti. "Saya semacam filsuf," katanya. Seandainya pada waktu itu saya
    tahu apa yang saya ketahui belakangan tentang Krishnamurti, mungkin saya
    akan takjub dengan pertemuan yang penting ini. Ini adalah pertemuan pertama
    saya dengan orang yang selama 40 tahun telah memukau ribuan orang di seluruh
    dunia dengan kearifannya, seorang guru yang dihormati bukan saja di tanah
    kelahirannya, India, melainkan juga di Eropa dan Amerika Serikat; seorang
    yang pada masa mudanya dibesarkan oleh orang-orang yang bermaksud baik untuk
    menyongsong kegemilangan sebagai tidak kurang dari Mesias yang lahir
    kembali.

    Pada waktu itu saya tidak tahu apa-apa tentang itu; ia sesama penumpang
    pesawat, dan kami kebetulan bertemu di meja makan. Pada mulanya pembicaraan
    kami biasa-biasa saja. Kami berbicara tentang cuaca, perang dan topik-topik
    biasa lainnya. Ia minta disodorkan garam. Kami ditawari pilihan makanan
    daging atau vegetarian, dan ia memilih makanan vegetarian. Karena ingin tahu
    dan untuk memperlancar pembicaraan, saya bertanya mengapa ia memilih salad,
    dan ia menjawab ia suka makanan itu, tapi bukan didasari oleh suatu prinsip
    moral. Seperti banyak orang India lain, ia dibesarkan dalam lingkungan
    vegetarian dan kesukaan itu tetap melekat padanya. Karena saya tahu bahwa
    'Krishna' adalah kata India yang berarti 'Tuhan', saya mencoba bertanya, apa
    makna namanya, Krishnamurti. Sudah menjadi kebiasaan di India Selatan bagi
    anak ke delapan, jika laki-laki, dinamakan Krishna, katanya kepada saya
    tanpa sedikitpun kesan bangga, dan namanya berarti "serupa dengan Tuhan".
    Dari sini pembicaraan kami menyimpang dari sekadar basa-basi dan obrolan
    sesama penumpang pesawat, dan saya merasa, jika bukan sungguh-sungguh
    mendorong, tidak menolak dengan sengaja untuk melangkah lebih jauh lagi.
    Karena kami berdua punya banyak waktu, saya rasa tidak ada salahnya
    mengembangkan pembicaraan itu, dan bagaimana pun juga, ada sesuatu pada
    laki-laki ini, suatu kualitas yang sukar dijelaskan, suatu aura, yang
    tampaknya mengundang orang bertanya, dan secara aneh menjamin bahwa
    jawabannya patut disimak. Bagaimana pun juga, saya mau mencoba.

    "Anda bilang, Anda 'semacam filsuf', tapi menilik makna nama Anda, saya rasa
    Anda juga seorang religius," kataku.

    "Jika dengan itu Anda maksudkan bahwa saya menganut suatu agama, jawabannya
    tidak, Pak," katanya. "Saya juga tidak menganut suatu filsafat tertentu.
    Saya berpendapat, semua filsafat dan agama salah. Kata yang terucap atau
    tertulis bukanlah kebenaran. Kebenaran hanya bisa dialami secara langsung
    pada saat terjadinya. Setiap pikiran atau proyeksi intelektual dari
    kebenaran itu adalah langkah menjauhi kebenaran itu, Pak."

    Saya diam sejenak, mencoba mencernakan apa yang dikatakannya. Ia bicara
    dengan cepat dan blak-blakan dengan aksen Oxford yang teliti; dan mau tidak
    mau saya merasa geli, dan sedikit jengah, pada caranya menyapa saya secara
    formal dengan "Pak" (Sir), sekalipun umur saya baru 28 tahun dibandingkan
    dengan usianya yang sudah 65 tahun atau lebih. Saya lihat perwira India di
    meja kami lebih dari sekadar terkejut mendengar arah pembicaraan kami, tapi
    mungkin dengan sedikit kasar saya bersikap tidak menghiraukannya, dan ia
    meneruskan makannya dengan berdiam diri.

    "Karena Anda tidak menganut salah satu agama yang ada," tanyaku, "manakah di
    antara pendiri agama-agama besar yang paling dekat mengajarkan dan mencapai
    kebenaran tertinggi?"

    "O, Buddha," jawab Krishnamurti tanpa ragu dan membuat saya agak kaget. Saya
    berharap ia menyebutkan salah satu dewa-dewa Hindu atau bahkan Yesus.
    "Buddha paling dekat kepada hakekat kebenaran dan fakta kehidupan
    dibandingkan guru-guru lain. Sekalipun saya sendiri bukan Buddhis tentu
    saja."

    "Mengapa tidak?" tanyaku sesopan mungkin, untuk menutupi pertanyaan yang
    blak-blakan itu.

    "Tidak ada organisasi agama, betapa pun tuanya atau barunya, dapat menuntun
    manusia kepada kebenaran. Itu menjadi halangan, itu hanya bisa menghambat.
    Itu menghalangi orang dari menyelidik secara polos. Kebenaran datang dari
    dalam, dengan melihatnya sendiri. Memang, cara konvensional untuk memperoleh
    pengetahuan adalah dengan membaca atau mendengarkan orang lain, tapi untuk
    memahami, Anda harus menembus secara langsung, dengan mengamati dengan diam.
    Maka Anda akan mengerti."

    Ia berhenti sejenak dan saya menunggu sampai ia bicara lagi. "Jelas jika
    Anda ingin membangun jembatan, Anda harus belajar tentang tekanan dan
    tegangan, tetapi dalam hal memahami kebenaran atau konsep cinta, pemikiran
    religius atau filosofis, segala hal yang berkaitan dengan realitas, itu
    harus ditembus dan dialami langsung tanpa penafsiran intelektual. Kebenaran
    datang dari dalam. Sekali pemahaman muncul, Anda dapat berbicara tentang
    itu, tetapi itu tidak berarti bahwa seorang pendengar akan mengerti."

    "Jika Anda menguraikan sebuah buku atau sebuah mobil atau pesawat yang kita
    tumpangi ini, saya akan mengerti," kataku.
    steven
    steven
    WarKop Super DIVA
    WarKop Super DIVA


    Male
    Jumlah posting : 1036
    Lokasi : Medan boo
    Registration date : 25.09.08

    Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara Empty Re: Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara

    Post by steven Sun Sep 28, 2008 11:32 am

    bagian 2

    "Itu tujuan intelek, Pak, untuk berkomunikasi. Hal-hal mekanis dan
    materialistik dapat dipahami, tetapi jika saya mencoba menjelaskan kepada
    Anda apa itu Tuhan, apa itu kebenaran atau apa itu cinta, Anda tidak akan
    paham sepenuhnya. Mungkin saya tahu apa itu cinta, apa itu Tuhan, apa itu
    realitas--saya bisa menulis buku tentang apa itu cinta atau apa itu
    realitas, dan Anda bisa membacanya, dan secara intelektual Anda bisa
    memahami buku itu, tetapi itu tidak otomatis berarti bahwa Anda tahu apa itu
    cinta atau apa itu realitas. Itu harus Anda pahami dengan pengalaman
    langsung, tanpa penafsiran dan tanpa intelektualisasi. Pikiran dan kata
    bukanlah kenyataannya, melainkan suatu distorsi dari realitas itu."

    Arus kata-kata laki-laki tua itu sungguh memukau dan saya sangat ingin untuk
    melanjutkan diskusi itu. Ketika makan siang selesai dan para penumpang mulai
    berjalan menuju pesawat, sekali lagi saya bertanya bolehkah saya duduk di
    sebelahnya dan melanjutkan pembicaraan. Ia tampak senang mendapat teman,
    tapi secercah keraguan terlintas di wajahnya. "Tapi bagaimana dengan gadis
    manis yang duduk di sebelah Anda sebelum kita berhenti di sini? Ia mungkin
    tersinggung jika Anda meninggalkannya. " Perhatiannya untuk gadis itu--bahkan
    fakta bahwa ia tahu hal itu--mengherankan saya. Saya sama sekali tidak kenal
    gadis itu dan kami hanya bertukar beberapa kalimat basa-basi. Saya
    meyakinkan laki-laki tua itu dan memindahkan bagasi saya ke rak yang
    terdekat dengan tempat duduknya.

    "Saya lihat Anda tidak membawa tas, Anda bepergian dengan ringan," kataku.

    "Saya hanya pergi sampai New Delhi," jawabnya, "saya tidak memerlukan
    sesuatu apa pun dan tidak membawa apa-apa. Saya juga tidak punya uang, saya
    tidak pernah menyimpannya. "

    "Apa yang akan Anda lakukan di Delhi tanpa uang dan tanpa pakaian?" tanyaku.
    "Bagaimana Anda mendapatkan makanan dan akomodasi?"

    "Saya punya teman-teman, " jawabnya sederhana. "Saya diundang untuk
    berbicara, dan orang-orang yang menginginkan saya bicara juga membayar untuk
    perjalanan saya, makanan saya dan segala sesuatu yang saya butuhkan. Mereka
    juga menerima saya menginap di rumah mereka, dan Anda boleh yakin saya
    merasa nyaman dan tidak memerlukan apa-apa lagi." "Sebetulnya, " tambahnya,
    "saya tidak punya rumah tetap atau harta benda apa pun. Saya hidup dengan
    bepergian dari kota ke kota, dan teman-teman saya di mana-mana memenuhi
    kebutuhan saya. Saya tidak menetap di suatu tempat, tapi saya pergi ke
    mana-mana, dan teman-teman saya ada di mana-mana. Kebutuhan saya sederhana."

    Saya rasa Krishnamurti geli melihat saya memandang seolah-olah tak percaya.
    Hal itu tentu jelas terlihat di wajah saya. Bahkan saat itu saya tidak
    menduga bahwa ia seorang mistikus yang terkenal di dunia, yang mempunyai
    pengikut hampir di setiap negara yang siap untuk menerimanya dalam
    kunjungan-kunjungan nya sebagai pemimpin spiritual mereka. Sekalipun saya
    banyak membaca dan mempelajari filsafat dan kepercayaan religius Timur, saya
    belum pernah menemukan nama Krishnamurti, dan bagi dia mungkin suatu hal
    baru bertemu dengan seorang muda yang bersungguh-sungguh tapi tampak jelas
    belum pernah mendengar tentang dia. Namun, saya sadar bahwa saya berhadapan
    dengan suatu pribadi yang luar biasa, seorang yang kata-katanya menembus ke
    sanubariku dan mengandung makna penting. Pencarianku akan kebenaran dan
    keheningan batin akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda berhasil. Sekarang
    kalau direnungkan kembali, mungkin justru karena saya bukan salah seorang
    pengagumnya maka Krishnamurti bicara begitu bebas dengan saya.
    Pertanyaan-pertanya anku bersifat menggali bagi seorang yang sama sekali
    asing, namun jawaban-jawabannya terperinci dan terus terang dan, alih-alih
    membuat saya berhenti atau merasa dia gusar karena pertanyaan-pertanya anku
    yang menguji dan penuh kepercayaan diri, ia tampak menyenanginya dan bahkan
    mengundang lebih banyak lagi. Bicaranya hidup dan lancar dan gerak-gerik
    tubuh yang menyertainya kuat dan ekspresif. Mesin pesawat mendengung secara
    monoton, dan sementara para penumpang lain membaca atau tidur, kami
    meneruskan diskusi kami yang bersemangat.

    "Bagaimana Anda hidup?" tanyaku, kembali kepada temanya semula.

    "Oh, peristiwa-peristiwa terjadi begitu saja. Saya terjaga baik. Saya lebih
    bahagia tanpa harta benda pribadi. Orang memberi saya berbagai benda, tapi
    saya dapat membawanya atau meninggalkannya. Apa perlunya harta benda? Bila
    Anda tidak membutuhkannya, mereka datang kepada Anda. Bila Anda menginginkan
    harta benda maka Anda berada dalam konflik, dan bila Anda tidak
    memperolehnya Anda menderita. Bila Anda memperolehnya, Anda menginginkan
    yang lain lagi, yang menyebabkan penderitaan lebih lanjut. Kebutuhan saya
    sangat sederhana. Yang saya butuhkan adalah makan setiap hari, beberapa
    kalori, cukup pakaian agar hangat. Semua itu disediakan dengan sangat cukup
    bagi saya. Pakaian yang saya miliki adalah yang saya kenakan ini," katanya
    sambil tertawa. "Kebutuhan nyata manusia sederhana saja. Dan cukup mudah
    memenuhinya. Televisi dan mobil tidak dibutuhkan untuk mempertahankan hidup
    dan sesungguhnya benda-benda itu menyebabkan konflik. Bila Anda
    menginginkannya dan bersusah payah untuk mendapatkannya, di situlah konflik
    muncul dalam kehidupan. Anda tidak pernah puas. Kita cenderung hidup dalam
    kebingungan, alih-alih kejernihan. Ini destruktif. Dari kebingungan, muncul
    lebih banyak kebingungan. Tetapi jika kita sadar akan kebingungan itu, kita
    bisa berhenti dan menyelidik. Jangan bertindak dari kebingungan, Pak.
    Bertindaklah dari kejernihan."

    "Bagaimana kita memperoleh kejernihan?"

    "Kita perlu memahami kehidupan ini, menjalani kehidupan sehari-hari, beserta
    segala kesengsaraannya, kebingungannya, konfliknya. Itu tidak mudah. Jika
    kita dapat memahami bagaimana hidup, kematian sudah dekat. Tanpa mati tidak
    ada hidup. Kita harus mengamati diri kita terus-menerus. Melihat diri kita,
    keserahahan, kecemburuan, kepahitan, kesinisan, kepercayaan kita--dan
    mengamatinya. Kita tidak bisa melihatnya bila kita ingin mengubahnya.
    Melihat secara aktual menuntut energi, pengamatan aktif terus-menerus. "

    "Bagaimana Anda menjawab orang yang minta nasehat Anda bagaimana
    mengembangkan spiritualitas? " tanyaku.

    Wajah Krishnamurti berubah menjadi serius. "Hanya dengan mengamati diam-diam
    diri Anda sepanjang waktu, mengamati semua tindakan Anda, pikiran Anda,
    lingkungan Anda. Sadarilah segala hal diam-diam pada saat terjadinya, tanpa
    menafsirkan. "

    "Tetapi saya tidak bisa memberi nasehat," katanya, sambil tertawa tiba-tiba.
    "Bila orang minta nasehat kepada saya, atau jaminan, itu sama seperti minta
    obat. Saya tidak bisa memberinya. Jawabannya ada di dalam diri mereka
    sendiri. Mereka harus mencarinya sendiri. Mereka mencari rasa aman, padahal
    tidak ada yang seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganut suatu agama,
    atau mencoba mencapai Tuhan--itu keinginan untuk merasa aman. Setiap orang
    adalah keselamatannya sendiri, dan hanya melalui dirinya sendiri ia akan
    menemukan kebenaran, bukan melalui agama, pikiran atau teori, dan jelas
    bukan dengan mengikuti seorang pemimpin. Pemimpin dan yang dipimpin saling
    mengeksploitasi, dan saya tidak mau terlibat kegiatan seperti itu!

    Oleh karena dorongan untuk merasa aman itulah kita beriman pada para
    pemimpin. Mengapa? Oleh karena kita tidak ingin berbuat salah. Rasa takut
    itulah, bukan kejernihan, adalah dasar dari penganutan. Kita menginginkan
    suatu ide yang permanen, Tuhan yang permanen. Bila kejernihan muncul, kita
    tidak ingin mengikuti siapa pun. Ajaranku tidak memerlukan iman, melainkan
    suatu batin yagn bebas untuk menyelidik."

    "Jadi, apakah tidak ada nilai sedikit pun dalam menganut agama?" tanyaku.

    "Semua agama terorganisir adalah wujud pelarian, Pak. Mereka menawarkan
    kenyamanan, mengatakan apa yang harus Anda lakukan. Jika Anda berperilaku
    baik, Anda akan mendapat hadiah. Itu kekanak-kanakan. Itu penghalang bagi
    pemahaman."

    Masih banyak pertanyaan yang saya rasa perlu saya ajukan kepada orang India
    tua yang suci ini, yang kata-katanya untuk pertama kali menyentuh dawai
    respons di batinku. Tetapi bunyi mesin pesawat yang berubah menunjukkan
    bahwa sebentar lagi perjalanan akan berakhir dan dalam beberapa menit lagi
    kita akan mendarat dan masing-masing saling berpisah.

    "Apakah kita akan bertemu di Delhi?" tanyaku.

    "Saya akan pergi dalam beberapa hari," jawabnya.

    "Ke mana Anda akan pergi sesudah ini?"

    "Mungkin Amerika, atau Switzerland, " katanya tanpa kepastian. "Saya lebih
    suka iklim yang lembut."

    Ketika ia bangkit untuk meninggalkan pesawat, saya baru melihat ia membawa
    sebuah buku yang dikempitnya. Ketika ia melihat saya memandang judul buku
    itu, ia tersenyum malu.

    "Ini jenis buku yang saya baca. Buku yang lain membosankan buat saya."

    Itu sebuah paperback detektif. Saya mengambil bagasi saya dan berjalan
    menuju gedung bandara dengan pintu bertuliskan 'Exit'. Saya berpaling, tapi
    tidak ada tanda-tanda dari laki-laki berpakaian katun putih--saya hanya
    melihat segerombolan orang, laki-laki dan perempuan, yang sibuk, dan
    wartawan foto berseliweran, dengan Krishnamurti di tengah-tengah mereka.


    nyuri dr forum sebelah ini...
    ciek
    ciek
    WarKop Super DIVA
    WarKop Super DIVA


    Male
    Jumlah posting : 1989
    Age : 41
    Registration date : 19.09.08

    Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara Empty Re: Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara

    Post by ciek Tue Sep 30, 2008 3:25 pm

    Mmmm....

    Copy Paste again...!!!

    Good Posting la.

    Plok Plok Plok

    cheers

    Sponsored content


    Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara Empty Re: Percakapan yang bagus (cocok ga ya di thread ini??) inti dari percakapan ini menurut saudara

    Post by Sponsored content


      Waktu sekarang Tue May 14, 2024 7:52 pm