Pertemuan kebetulan dg Krishnamurti
Dari buku, "The Quiet Mind," oleh John E. Coleman, 1971
"Semacam" Filsuf
Di India saya mulai mencari berbagai pemimpin agama, guru, yogi dan apa yang
disebut orang-orang tercerahkan. Saya mengunjungi biksu-biksu Tibet di
Sikkim, guru-guru Hindu dan yogi-yogi di Calcutta, Benares, Delhi,
Rishikesh, Madras dan Bombay, dan biksu-biksu Buddhis di Bodhgaya. Saya
bertemu dan bicara dengan banyak guru di seluruh India, membahas sistem
pengendalian badan dan jiwa mereka yang beraneka ragam dan mencoba sejumlah
latihan yang aneh, beberapa di antaranya akan saya uraikan, tapi tidak satu
pun yang menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadaan mirip
trance yang bersifat sementara yang dicapai melalui pengulangan
mantra-mantra, mengidungkan doa-doa atau berkonsentrasi pada obyek-obyek
netral. Banyak dari eksperimen itu menghasilkan ketenangan tertentu dalam
diri saya, tapi saya sama sekali masih belum mampu mentransendensikan
kegiatan dari batin yang nakal dan terus menggapai ini. Saya rasa, saya tahu
mengapa saya gagal, seperti telah saya jelaskan sebelum ini, tetapi
bagaimana saya bisa mencari cahaya tanpa mencurahkan seluruh daya batin saya
sepenuhnya kepada pencarian itu? Bagaimana saya bisa melihat kebenaran itu
tanpa dengan sadar dan sepenuh hati mencarinya? Rasanya seperti bermain
kucing-kucingan dengan bayangan saya sendiri.
Sementara menunggu pesawat saya berangkat dari Benares menuju New Delhi,
saya melihat seorang India minta diri dari segerombolan teman-temannya.
Sosoknya menarik, tampak sudah tua--mungkin berusia enampuluhan atau
lebih--tinggi, dengan kepala yang dipenuhi uban. Ia mengenakan pakaian tipis
terbuat dari katun putih seperti banyak dipakai orang. Kepergiannya jelas
menyebabkan rekan-rekannya sedikit banyak bersedih hati, dan mereka
mengucapkan doa dengan sungguh-sungguh agar ia selamat dan mendesaknya agar
segera datang kembali. Saya pikir, ia seorang selebriti atau tamu yang
dihormati. Kami menaiki tangga pesawat bersama-sama, dan saya segera duduk
di kursi saya dan asyik membaca buku yang saya beli di toko buku bandara,
tanpa menghiraukan sekeliling saya, kecuali ada seorang perempuan muda
Amerika duduk di kursi di samping saya. Saya tidak lagi memperhatikan
laki-laki berpakaian putih itu, bahkan melupakannya sama sekali sepanjang
bagian perjalanan itu. Namun saya memperhatikan satu hal yang aneh. Mungkin
tidak penting, tetapi laki-laki itu tidak membawa bagasi.
Pesawat singgah di Lucknow. Para penumpang turun, dan kami semua pergi ke
ruang tunggu bandara untuk dilayani makan siang. Saya perhatikan,
orang-orang Eropa dengan sendirinya mengumpul di satu meja, dan mula-mula
saya terdorong untuk mengikuti mereka. Namun, saya mengubah pikiran saya
ketika saya melihat laki-laki tua yang saya lihat tadi pergi menuju sebuah
meja yang lebih kecil, yang sudah ditempati oleh seorang perwira tentara
India. Yah, saya berada di India untuk bertemu dengan orang India, dan ini
kesempatan baik untuk mencicipi budaya setempat. Kami bertukar sapa seperti
biasa, dan saya duduk. Saya memperkenalkan diri, dan ia menyebutkan namanya,
Krishnamurti. "Saya semacam filsuf," katanya. Seandainya pada waktu itu saya
tahu apa yang saya ketahui belakangan tentang Krishnamurti, mungkin saya
akan takjub dengan pertemuan yang penting ini. Ini adalah pertemuan pertama
saya dengan orang yang selama 40 tahun telah memukau ribuan orang di seluruh
dunia dengan kearifannya, seorang guru yang dihormati bukan saja di tanah
kelahirannya, India, melainkan juga di Eropa dan Amerika Serikat; seorang
yang pada masa mudanya dibesarkan oleh orang-orang yang bermaksud baik untuk
menyongsong kegemilangan sebagai tidak kurang dari Mesias yang lahir
kembali.
Pada waktu itu saya tidak tahu apa-apa tentang itu; ia sesama penumpang
pesawat, dan kami kebetulan bertemu di meja makan. Pada mulanya pembicaraan
kami biasa-biasa saja. Kami berbicara tentang cuaca, perang dan topik-topik
biasa lainnya. Ia minta disodorkan garam. Kami ditawari pilihan makanan
daging atau vegetarian, dan ia memilih makanan vegetarian. Karena ingin tahu
dan untuk memperlancar pembicaraan, saya bertanya mengapa ia memilih salad,
dan ia menjawab ia suka makanan itu, tapi bukan didasari oleh suatu prinsip
moral. Seperti banyak orang India lain, ia dibesarkan dalam lingkungan
vegetarian dan kesukaan itu tetap melekat padanya. Karena saya tahu bahwa
'Krishna' adalah kata India yang berarti 'Tuhan', saya mencoba bertanya, apa
makna namanya, Krishnamurti. Sudah menjadi kebiasaan di India Selatan bagi
anak ke delapan, jika laki-laki, dinamakan Krishna, katanya kepada saya
tanpa sedikitpun kesan bangga, dan namanya berarti "serupa dengan Tuhan".
Dari sini pembicaraan kami menyimpang dari sekadar basa-basi dan obrolan
sesama penumpang pesawat, dan saya merasa, jika bukan sungguh-sungguh
mendorong, tidak menolak dengan sengaja untuk melangkah lebih jauh lagi.
Karena kami berdua punya banyak waktu, saya rasa tidak ada salahnya
mengembangkan pembicaraan itu, dan bagaimana pun juga, ada sesuatu pada
laki-laki ini, suatu kualitas yang sukar dijelaskan, suatu aura, yang
tampaknya mengundang orang bertanya, dan secara aneh menjamin bahwa
jawabannya patut disimak. Bagaimana pun juga, saya mau mencoba.
"Anda bilang, Anda 'semacam filsuf', tapi menilik makna nama Anda, saya rasa
Anda juga seorang religius," kataku.
"Jika dengan itu Anda maksudkan bahwa saya menganut suatu agama, jawabannya
tidak, Pak," katanya. "Saya juga tidak menganut suatu filsafat tertentu.
Saya berpendapat, semua filsafat dan agama salah. Kata yang terucap atau
tertulis bukanlah kebenaran. Kebenaran hanya bisa dialami secara langsung
pada saat terjadinya. Setiap pikiran atau proyeksi intelektual dari
kebenaran itu adalah langkah menjauhi kebenaran itu, Pak."
Saya diam sejenak, mencoba mencernakan apa yang dikatakannya. Ia bicara
dengan cepat dan blak-blakan dengan aksen Oxford yang teliti; dan mau tidak
mau saya merasa geli, dan sedikit jengah, pada caranya menyapa saya secara
formal dengan "Pak" (Sir), sekalipun umur saya baru 28 tahun dibandingkan
dengan usianya yang sudah 65 tahun atau lebih. Saya lihat perwira India di
meja kami lebih dari sekadar terkejut mendengar arah pembicaraan kami, tapi
mungkin dengan sedikit kasar saya bersikap tidak menghiraukannya, dan ia
meneruskan makannya dengan berdiam diri.
"Karena Anda tidak menganut salah satu agama yang ada," tanyaku, "manakah di
antara pendiri agama-agama besar yang paling dekat mengajarkan dan mencapai
kebenaran tertinggi?"
"O, Buddha," jawab Krishnamurti tanpa ragu dan membuat saya agak kaget. Saya
berharap ia menyebutkan salah satu dewa-dewa Hindu atau bahkan Yesus.
"Buddha paling dekat kepada hakekat kebenaran dan fakta kehidupan
dibandingkan guru-guru lain. Sekalipun saya sendiri bukan Buddhis tentu
saja."
"Mengapa tidak?" tanyaku sesopan mungkin, untuk menutupi pertanyaan yang
blak-blakan itu.
"Tidak ada organisasi agama, betapa pun tuanya atau barunya, dapat menuntun
manusia kepada kebenaran. Itu menjadi halangan, itu hanya bisa menghambat.
Itu menghalangi orang dari menyelidik secara polos. Kebenaran datang dari
dalam, dengan melihatnya sendiri. Memang, cara konvensional untuk memperoleh
pengetahuan adalah dengan membaca atau mendengarkan orang lain, tapi untuk
memahami, Anda harus menembus secara langsung, dengan mengamati dengan diam.
Maka Anda akan mengerti."
Ia berhenti sejenak dan saya menunggu sampai ia bicara lagi. "Jelas jika
Anda ingin membangun jembatan, Anda harus belajar tentang tekanan dan
tegangan, tetapi dalam hal memahami kebenaran atau konsep cinta, pemikiran
religius atau filosofis, segala hal yang berkaitan dengan realitas, itu
harus ditembus dan dialami langsung tanpa penafsiran intelektual. Kebenaran
datang dari dalam. Sekali pemahaman muncul, Anda dapat berbicara tentang
itu, tetapi itu tidak berarti bahwa seorang pendengar akan mengerti."
"Jika Anda menguraikan sebuah buku atau sebuah mobil atau pesawat yang kita
tumpangi ini, saya akan mengerti," kataku.
Dari buku, "The Quiet Mind," oleh John E. Coleman, 1971
"Semacam" Filsuf
Di India saya mulai mencari berbagai pemimpin agama, guru, yogi dan apa yang
disebut orang-orang tercerahkan. Saya mengunjungi biksu-biksu Tibet di
Sikkim, guru-guru Hindu dan yogi-yogi di Calcutta, Benares, Delhi,
Rishikesh, Madras dan Bombay, dan biksu-biksu Buddhis di Bodhgaya. Saya
bertemu dan bicara dengan banyak guru di seluruh India, membahas sistem
pengendalian badan dan jiwa mereka yang beraneka ragam dan mencoba sejumlah
latihan yang aneh, beberapa di antaranya akan saya uraikan, tapi tidak satu
pun yang menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadaan mirip
trance yang bersifat sementara yang dicapai melalui pengulangan
mantra-mantra, mengidungkan doa-doa atau berkonsentrasi pada obyek-obyek
netral. Banyak dari eksperimen itu menghasilkan ketenangan tertentu dalam
diri saya, tapi saya sama sekali masih belum mampu mentransendensikan
kegiatan dari batin yang nakal dan terus menggapai ini. Saya rasa, saya tahu
mengapa saya gagal, seperti telah saya jelaskan sebelum ini, tetapi
bagaimana saya bisa mencari cahaya tanpa mencurahkan seluruh daya batin saya
sepenuhnya kepada pencarian itu? Bagaimana saya bisa melihat kebenaran itu
tanpa dengan sadar dan sepenuh hati mencarinya? Rasanya seperti bermain
kucing-kucingan dengan bayangan saya sendiri.
Sementara menunggu pesawat saya berangkat dari Benares menuju New Delhi,
saya melihat seorang India minta diri dari segerombolan teman-temannya.
Sosoknya menarik, tampak sudah tua--mungkin berusia enampuluhan atau
lebih--tinggi, dengan kepala yang dipenuhi uban. Ia mengenakan pakaian tipis
terbuat dari katun putih seperti banyak dipakai orang. Kepergiannya jelas
menyebabkan rekan-rekannya sedikit banyak bersedih hati, dan mereka
mengucapkan doa dengan sungguh-sungguh agar ia selamat dan mendesaknya agar
segera datang kembali. Saya pikir, ia seorang selebriti atau tamu yang
dihormati. Kami menaiki tangga pesawat bersama-sama, dan saya segera duduk
di kursi saya dan asyik membaca buku yang saya beli di toko buku bandara,
tanpa menghiraukan sekeliling saya, kecuali ada seorang perempuan muda
Amerika duduk di kursi di samping saya. Saya tidak lagi memperhatikan
laki-laki berpakaian putih itu, bahkan melupakannya sama sekali sepanjang
bagian perjalanan itu. Namun saya memperhatikan satu hal yang aneh. Mungkin
tidak penting, tetapi laki-laki itu tidak membawa bagasi.
Pesawat singgah di Lucknow. Para penumpang turun, dan kami semua pergi ke
ruang tunggu bandara untuk dilayani makan siang. Saya perhatikan,
orang-orang Eropa dengan sendirinya mengumpul di satu meja, dan mula-mula
saya terdorong untuk mengikuti mereka. Namun, saya mengubah pikiran saya
ketika saya melihat laki-laki tua yang saya lihat tadi pergi menuju sebuah
meja yang lebih kecil, yang sudah ditempati oleh seorang perwira tentara
India. Yah, saya berada di India untuk bertemu dengan orang India, dan ini
kesempatan baik untuk mencicipi budaya setempat. Kami bertukar sapa seperti
biasa, dan saya duduk. Saya memperkenalkan diri, dan ia menyebutkan namanya,
Krishnamurti. "Saya semacam filsuf," katanya. Seandainya pada waktu itu saya
tahu apa yang saya ketahui belakangan tentang Krishnamurti, mungkin saya
akan takjub dengan pertemuan yang penting ini. Ini adalah pertemuan pertama
saya dengan orang yang selama 40 tahun telah memukau ribuan orang di seluruh
dunia dengan kearifannya, seorang guru yang dihormati bukan saja di tanah
kelahirannya, India, melainkan juga di Eropa dan Amerika Serikat; seorang
yang pada masa mudanya dibesarkan oleh orang-orang yang bermaksud baik untuk
menyongsong kegemilangan sebagai tidak kurang dari Mesias yang lahir
kembali.
Pada waktu itu saya tidak tahu apa-apa tentang itu; ia sesama penumpang
pesawat, dan kami kebetulan bertemu di meja makan. Pada mulanya pembicaraan
kami biasa-biasa saja. Kami berbicara tentang cuaca, perang dan topik-topik
biasa lainnya. Ia minta disodorkan garam. Kami ditawari pilihan makanan
daging atau vegetarian, dan ia memilih makanan vegetarian. Karena ingin tahu
dan untuk memperlancar pembicaraan, saya bertanya mengapa ia memilih salad,
dan ia menjawab ia suka makanan itu, tapi bukan didasari oleh suatu prinsip
moral. Seperti banyak orang India lain, ia dibesarkan dalam lingkungan
vegetarian dan kesukaan itu tetap melekat padanya. Karena saya tahu bahwa
'Krishna' adalah kata India yang berarti 'Tuhan', saya mencoba bertanya, apa
makna namanya, Krishnamurti. Sudah menjadi kebiasaan di India Selatan bagi
anak ke delapan, jika laki-laki, dinamakan Krishna, katanya kepada saya
tanpa sedikitpun kesan bangga, dan namanya berarti "serupa dengan Tuhan".
Dari sini pembicaraan kami menyimpang dari sekadar basa-basi dan obrolan
sesama penumpang pesawat, dan saya merasa, jika bukan sungguh-sungguh
mendorong, tidak menolak dengan sengaja untuk melangkah lebih jauh lagi.
Karena kami berdua punya banyak waktu, saya rasa tidak ada salahnya
mengembangkan pembicaraan itu, dan bagaimana pun juga, ada sesuatu pada
laki-laki ini, suatu kualitas yang sukar dijelaskan, suatu aura, yang
tampaknya mengundang orang bertanya, dan secara aneh menjamin bahwa
jawabannya patut disimak. Bagaimana pun juga, saya mau mencoba.
"Anda bilang, Anda 'semacam filsuf', tapi menilik makna nama Anda, saya rasa
Anda juga seorang religius," kataku.
"Jika dengan itu Anda maksudkan bahwa saya menganut suatu agama, jawabannya
tidak, Pak," katanya. "Saya juga tidak menganut suatu filsafat tertentu.
Saya berpendapat, semua filsafat dan agama salah. Kata yang terucap atau
tertulis bukanlah kebenaran. Kebenaran hanya bisa dialami secara langsung
pada saat terjadinya. Setiap pikiran atau proyeksi intelektual dari
kebenaran itu adalah langkah menjauhi kebenaran itu, Pak."
Saya diam sejenak, mencoba mencernakan apa yang dikatakannya. Ia bicara
dengan cepat dan blak-blakan dengan aksen Oxford yang teliti; dan mau tidak
mau saya merasa geli, dan sedikit jengah, pada caranya menyapa saya secara
formal dengan "Pak" (Sir), sekalipun umur saya baru 28 tahun dibandingkan
dengan usianya yang sudah 65 tahun atau lebih. Saya lihat perwira India di
meja kami lebih dari sekadar terkejut mendengar arah pembicaraan kami, tapi
mungkin dengan sedikit kasar saya bersikap tidak menghiraukannya, dan ia
meneruskan makannya dengan berdiam diri.
"Karena Anda tidak menganut salah satu agama yang ada," tanyaku, "manakah di
antara pendiri agama-agama besar yang paling dekat mengajarkan dan mencapai
kebenaran tertinggi?"
"O, Buddha," jawab Krishnamurti tanpa ragu dan membuat saya agak kaget. Saya
berharap ia menyebutkan salah satu dewa-dewa Hindu atau bahkan Yesus.
"Buddha paling dekat kepada hakekat kebenaran dan fakta kehidupan
dibandingkan guru-guru lain. Sekalipun saya sendiri bukan Buddhis tentu
saja."
"Mengapa tidak?" tanyaku sesopan mungkin, untuk menutupi pertanyaan yang
blak-blakan itu.
"Tidak ada organisasi agama, betapa pun tuanya atau barunya, dapat menuntun
manusia kepada kebenaran. Itu menjadi halangan, itu hanya bisa menghambat.
Itu menghalangi orang dari menyelidik secara polos. Kebenaran datang dari
dalam, dengan melihatnya sendiri. Memang, cara konvensional untuk memperoleh
pengetahuan adalah dengan membaca atau mendengarkan orang lain, tapi untuk
memahami, Anda harus menembus secara langsung, dengan mengamati dengan diam.
Maka Anda akan mengerti."
Ia berhenti sejenak dan saya menunggu sampai ia bicara lagi. "Jelas jika
Anda ingin membangun jembatan, Anda harus belajar tentang tekanan dan
tegangan, tetapi dalam hal memahami kebenaran atau konsep cinta, pemikiran
religius atau filosofis, segala hal yang berkaitan dengan realitas, itu
harus ditembus dan dialami langsung tanpa penafsiran intelektual. Kebenaran
datang dari dalam. Sekali pemahaman muncul, Anda dapat berbicara tentang
itu, tetapi itu tidak berarti bahwa seorang pendengar akan mengerti."
"Jika Anda menguraikan sebuah buku atau sebuah mobil atau pesawat yang kita
tumpangi ini, saya akan mengerti," kataku.